Problematika Pernikahan Dini

GMNI FISIP Unair
6 min readJan 28, 2023

--

Pernikahan atau perkawinan merupakan fenomena sosial yang ada dan tumbuh subur di dalam kehidupan umat manusia. Pernikahan atau perkawinan menjadi suatu adat atau kebiasaan masyarakat yang berkaitan erat dengan sistem nilai dan norma serta pola budaya suatu masyarakat itu sendiri. Indonesia yang merupakan negara multikulturalisme tentunya tidak terlepas dengan terjadinya keragaman bentuk adat atau budaya dalam sistem perkawinan di lingkungan masyarakatnya. Secara antropologis, pernikahan atau perkawinan merupakan hubungan ataupun ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri yang disahkan berdasarkan ketentuan adat atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat setempat (Nurmansyah et al, 2019). Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Lebih luas lagi, pernikahan memiliki pemaknaan yang beragam dari tiap-tiap kelompok masyarakat kebudayaan. Pemaknaan tentang definitif maupun nilai dari pernikahan itu sendiri yang memberikan konsensus pada kelompok masyarakat terkait dengan kesakralan pernikahan itu sendiri. Motif adanya pernikahan atau perkawinan di masyarakat juga turut beragam. Tidak hanya berkaitan dengan motif berhubungan seksual saja, namun lebih luas lagi terdapat motif sosial budaya masyarakat yang turut melatarbelakangi terjadinya pernikahan atau perkawinan. Faktor sosial budaya ini lah yang turut memberikan permasalahan dalam ranah pernikahan atau perkawinan.

Terdapat penyimpangan-penyimpangan atau permasalahan dalam pernikahan atau perkawinan. Salah satu dari permasalahan pernikahan yang marak terjadi di Indonesia adalah pernikahan dini dan pernikahan siri. Pernikahan dini dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang masih berusia belia atau berada di bawah batas ketentuan usia menurut peraturan yang berlaku di masyarakat setempat. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa batas usia minimal pernikahan laki-laki adalah 19 tahun, dan perempuan diubah dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Artinya pernikahan dini terjadi pada laki-laki dan perempuan yang berada di bawah usia 19 tahun.

Pernikahan anak di bawah usia 19 tahun hanya dapat dilangsungkan dengan permohonan dispensasi pernikahan kepada pengadilan agama di wilayah tempat dilangsungkannya pernikahan. Namun, adanya persyaratan yang ‘ketat’ dalam permohonan dispensasi pernikahan ke pangadilan agama, menyebabkan sebagian masyarakat melangsungkan pernikahan secara siri. Tujuannya adalah untuk mengesahkan pernikahan secara agama dan menghindari adanya hubungan perzinaan di antara laki-laki dan perempuan (Wulaningsih & Sadewo, 2021). Motif ini marak terjadi di kelompok masyarakat yang masih kental akan budaya yang berakar pada nilai-nilai keagamaan.

Menurut Faradina dan Jatiningsih (2019), menyimpulkan terdapat dua motif utama bagi masyarakat dalam melangsungkan pernikahan dini, yaitu motif sosial ekonomi dan motif religi. Pernikahan dini dilakukan seringkali dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi, yang mana anak perempuan dijodohkan dan diminta untuk menikah dengan maksud untuk mengurangi beban atau tanggungan ekonomi pada anaknya, serta dengan maksud untuk mengangkat status sosial keluarga. Sementara itu, pernikahan dini juga dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari perbuatan zina, perilaku seks meyimpang, dan kenakalan remaja seiring dengan semakin tumbuh dewasanya anak. Perilaku zina dan seks bebas atau menyimpang menjadi momok bagi setiap keluarga ketika anak-anak dalam keluarga melakukan hal tersebut, sehingga dilakukannya pernikahan bertujuan juga untuk menghindari atau mengantisipasi sanksi sosial yang mengintai keluarga tersebut.

Maraknya kasus kehamilan di luar nikah dapat menggiring opini negatif publik tentang moral anak bangsa saat ini. Untuk menghindari penggiringan opini, perlu adanya identifikasi lebih lanjut dan mendalam terkait dengan fenomena tersebut. Seperti fenomena remaja yang hamil di luar pernikahan di Kabupaten Ponorogo. Menurut Ufah (2023), fenomena kehamilan di luar nikah yang terjadi di Kabupaten Ponorogo tidak serta merta merupakan akibat dari perilaku seks bebas remaja. Budaya masyarakat setempat masih melaksanakan perjodohan maupun pernikahan dini yang dilakukan oleh kalangan remaja awal. Mayoritas kehamilan di luar nikah yang terjadi di Kabupaten Ponorogo merupakan kejadian kehamilan yang sah di dalam lingkup pernikahan secara siri, dan tidak/belum melakukan pembaharuan status pernikahan di pihak yang berwenang sesuai dengan UU No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Artinya adalah, terdapat permasalahan dalam sistem pencatatan pernikahan baik secara adat maupun hukum positif di Indonesia. Permasalahan tersebut dapat terjadi akibat kurang jelasnya regulasi pernikahan adat atau memang pemahaman yang kurang mumpuni dari masyarakat adat. Selain itu, kondisi demikian juga berakibat pada tingginya angka permohonan dispensasi pernikahan yang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun perlu diketahui bahwa naiknya permohonan dispensasi pernikahan juga disebabkan karena adanya perubahan batas minimal usia pernikahan di kalangan remaja perempuan. Masyarakat yang telah terbiasa dengan regulasi minimal usia 16 tahun bagi perempuan sudah dapat melakukan pernikahan, mengalami culture shock ketika terjadi perubahan usia, sehingga menyebabkan perlu adanya dispensasi pernikahan untuk melangsungkan kebiasaan pernikahan pada usia 16–19 tahun. Kondisi tersebut berujung pada meningkatkan angka statistik permohonan dispensasi pernikahan yang diajukan di pengadilan agama.

Dampak pernikahan dini

Pernikahan dini yang masih marak terjadi di Indonesia memiliki ancaman pada kondisi kesehatan anak yang dilahirkannya. Menurut penelitian Widyastuti dan Azinar (2021) menunjukkan bahwa remaja yang mengalami kehamilan di bawah usia 19 tahun memiliki hubungan yang kuat dengan kondisi berat bayi lahir rendah (BBLR) yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang mengalami kehamilan di atas usia 20 tahun. Selain itu, pernikahan dini juga memiliki dampak baik secara biopsikis maupun kehidupan sosial. Remaja perempuan cenderung mengalami masa kehamilan yang lebih dini ketika melakukan pernikahan dini. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 menunjukkan bahwa proporsi remaja usia 10–19 tahun mengalami anemia ketika hamil sebesar 8,1%. Tentunya hal tersebut memberikan permasalahan domino yang dialami oleh remaja perempuan.

Kehamilan yang terjadi pada remaja perempuan di bawah 19 tahun dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bagi tubuhnya sendiri. Asupan nutrisi yang seharusnya terserap oleh tubuh untuk proses pematangan kondisi tubuh, harus teralihkan untuk mencukupi nutrisi janin yang dikandungnya. Alhalsis, remaja perempuan rentan mengalami kurang energi kronis (KEK) seperti yang termuat dalam Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi sebesar 33,5% untuk usia 15–19 tahun, dibandingan dengan usia 20–24 sebesar 23,3% dan 25–29 sebesar 16,7% yang merupakan rentang usia siap hamil.

Kehamilan yang terjadi pada usia yang belum siap hamil, tentu saja memberikan dampak pada psikososial remaja tersebut. Remaja yang bersangkutan cenderung merasa malu atau minder ketika bertemu dengan teman sebaya yang belum mengalami pernikahan. Ketika remaja laki-laki dan perempuan yang sudah terikat dalam ikatan pernikahan, mereka tidak bisa dengan mudah untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Padahal usia remaja merupakan usia yang memiliki rasa penasaran yang tinggi dan cenderung sulit untuk menerima adanya suatu ikatan yang ketat. Adanya kondisi yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, menimbulkan kondisi stres yang banyak dialami oleh remaja yang sudah mengalami pernikahan. Ma’rifah dan Muhaimin (2019), turut menyatakan bahwa pada pengantin remaja terjadi pembatasan yang mana remaja tidak memiliki kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri, terlebih ketika pasangan memiliki sifat yang posesif. Kondisi tersebut mengantarkan remaja yang terkungkung dalam ikatakan pernikahan dini cenderung untuk mengalami hambatan dalam melakukan kegiatan sosial sehari-hari di masyarakat.

Referensi:

Ulfah, I. (2023). Ratusan Siswa di Ponorogo Hamil di Luar Nikah, Benarkah? Mari Cek Faktanya!!. Retrieved January 18, 2023, from website: https://iainponorogo.ac.id/2023/01/16/ratusan-siswa-di-ponorogo-hamil-di-luar-nikah-benarkah-mari-cek-faktanya/.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/122740/uu-no-16-tahun-2019.

Wulaningsih, A., & Sadewo, F. X. S. (2021). MOTIF PERKAWINAN BELIA PADA REMAJA DI BAWAH UMUR (STUDI SRIMULYO, DAMPIT-KABUPATEN MALANG). Paradigma, 10(1).

Faradina, R. A., & Sari, M. M. K. (2019). Studi kasus tentang Motivasi pernikahan dini di Desa. Journal of Civics and Moral Studies, 4(2), 91–105.

Nurmansyah, G., Rodliyah, N., & Hapsari, R.A. (2019). Pengantar Antropologi Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Bandar Lampung: Aura.

Ma’rifah, S., & Muhaimin, T. (2019). Dampak Pernikahan Usia Dini di Wilayah Pedesaan A Systematic Review. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Husada: Health Sciences Journal, 10(1), 18–27.

Widyastuti, A., & Azinar, M. (2021). Pernikahan Usia Remaja dan Risiko terhadap Kejadian BBLR di Kabupaten Kendal. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 5(4), 569–576.

Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018. http://repository.bkpk.kemkes.go.id/3514/1/Laporan%20Riskesdas%202018%20Nasional.pdf

--

--

GMNI FISIP Unair
GMNI FISIP Unair

Written by GMNI FISIP Unair

Marhaenisme | “Pejuang Pemikir — Pemikir Pejuang” | Instagram: @gmnifisipua | Line: @pgs4444j | Twitter : @gmnifisipua

No responses yet